Ini tentang sebuah usaha mencapai
kegagalan.
30 September ini saya mengikuti
lomba trail running, atau lari menyusuri lembah dan bukit dengan jarak tempuh
21 kilometer, yah kira-kira sama dengan jarak Jatinangor ke Dago. Dari lebih
kurang tiga bulan sebelum hari ini saya telah banyak latihan yang menurut saya
cukup untuk setidaknya bisa naik ke podium. Ambisi saya untuk mencapai itu
sangat besar, namun itu semua juga harus dibarengi dengan komitmen dan
konsisten dalam latihan. Saya bukanlah Sangkuriang yang dalam semalam dapat
membuat 999 candi, dan saya juga bukan Jendral Diktator yang dalam semalam
memusnahkan 6 orang penting di negaranya. Harapan saya untuk menempati podium
amat sangat besar. Tetapi saya tidak menyadari kebodohan yang selama ini
membuntuti saya ketika berlari.
Tahapan latihan seperti pada
umumnya, selalu bertambah setiap kali berlatih dan berlari, akhirnya inilah yang
membuat badan saya menjadi lebih baik dan bagus juga sehat wal afiat (ini
adalah sisi positifnya), terkadang banyak juga waktu bermain saya dan kerjaan
atau tugas-tugas yang seharusnya bisa saya selesaikan tepat waktu tetapi
menjadi terlambat, karena terlalu lelah dan malas. Uang juga habis terkuras
karena harus memenuhi kebutuhan makan dan minum, vitamin, susu, buah-buahan. Saya
seperti layaknya seorang atlet. Wajib tidur di bawah jam 12 malam, makan tepat
waktu, latihan selalu. Sekali lagi, saya tidak sadar bahwa saya berada di bawah
ambisi bodoh saya. Pemula yang ingin naik podium.
Sekitar 2 bulan setelah latihan,
saya mengalami perubahan fisik dan stamina. Menurut saya itu baik. Proses yang
terlihat dan mungkin bisa menjadi motivasi ke depannya. Waktu tercepat (menurut
saya) dalam berlari 21km (menurut penghitungan saya) adalah 2jam 8menit (sekali
lagi, menurut jam tangan murahan saya) dan itu adalah lari di dalam kampus. Saya
merasa bangga dan semakin yakin, bahwa saya bisa naik podium. Tak lupa saya
juga menyogok Tuhan dengan doa dan nazar, mungkin Tuhan di atas sana sedang
tertawa ngakak sambil dalam hati berkata “lu banyak dosa mau banyak nuntut gua?”
Tapi saya adalah orang yang percaya dengan kekuatan doa. Entah siapapun, entah bagaimanapun.
Kemudian pada pagi harinya saat
perlombaan akan dimulai, saya tetap bersemangat bisa menang. Saya belum sadar
bahwa ada kabut tebal “orang-orang super” yang juga mengejar podium. Orang-orang
yang lebih berpengalaman dibanding saya, orang-orang yang lebih rajin latihan
dan konsisten, orang-orang yang sudah sering mengikuti lomba semacam ini, dan
orang-orang yang memang berbakat dan layak mendapatkannya. Sedangkan saya? Masih
dalam angan-angan kemenangan dan mendapatkan hadiah jutaan. Kemudian yang
nantinya uang itu akan saya sedekahkan dan melunasi utang-utang dan tetek
bengek persoalan hidup saya. Masih, saya masih percaya angan itu.
Dalam benak saya, berimajinasi saya
berada di atas podium, memegang “papan pemenang” dan difoto berramai-ramai,
diwawancarai orang-orang, ditanyai bagaimanakah latihannya, kiat-kiat menjadi
pemenang, kesan pesan untuk peserta lari, dan semacamnya. Lalu bertambah follower
instagram, menjadi idola, diapresiasi pihak Prodi, Fakultas, Organisasi, dan
orang tua. Dan saya masih belum sadar dalam hal-hal yang memabukkan itu.
Perlombaanpun dimulai, dari awal
start saya mencoba mengatur napas dan ritme lari, sampai seterusnya. Lalu di kilometer
12 pun saya masih berusaha meringsek masuk ke urutan terdepan, namun mental
saya yang sangat lemah, dan mulai banyak pikiran tentang “percuma dikebut kalau
dapat juara ke 4” “tidak mungkin mengalahkan mereka” “daripada mati di sini,
lebih baik jalan saja” “mending gua main
warnet aja dah daripada lari kek gini.” Dan akhirnya saya pun menyerah,
merelakan angan-angan bajingan saya. Saya banyak disalip orang-orang. Selanjutnya
saya hanya ingin kembali ke garis finish saja. Saya meneruskan lomba itu dengan
riang gembira, seluruh panitia saya sapa, orang yang lewat saya sapa, tidak
peduli anak-anak atau orang tua, bahkan ladang singkong itu pun juga saya sapa.
Di perjalanan turun menuju garis
finish, saya hanya bisa memaki diri saya sendiri dan sambil memasukan
motivasi-motivasi. Tapi tentu lebih banyak saya memaki diri saya sendiri. Kenapa
waktu teman saya menawarkan menjadi tour guide di Bali tidak saya ambil? Lihat sekarang
dia punya motor baru, dalam sebulan dia dapat 8-10juta, sedangkan saya disini
menghabiskan uang orang tua yang bahkan sekarang sudah pensiun. Kenapa saya
masih saja tidak bisa mandiri dan hanya bisa meminta-minta? Haruskah saya
dimelaratkan terlebih dahulu baru bisa bangkit? Kenapa saya masih saja kukuh
dengan ambisi mustahil itu, yang pasti akan sulit sekali untuk dicapai? Kenapa masih
saja saya bodoh? Kemampuan apa yang sebenarnya saya punya? Kenapa dari saya
kecil tidak pernah berkomitmen dan konsisten dalam satu bidang? Lihatlah
teman-teman saya yang konsisten di bidangnya! Mereka sudah menjadi orang semua.
Sedangkan bagaimana saya disini? Masih saja bingung dengan pertanyaan “mau jadi
apa?” dengan jawaban yang memutar-mutar dan argumen yang payah.
Semua jerit sesal itu masuk ke dalam
pikiran dan hati.
Saya masuk ke garis finish dalam
waktu 3jam 7menit. Lama. Lama sekali. Saya seperti orang yang baru berlatih
satu bulan. Kalau seperti itu, benarkan? Harusnya saya ambil saja menjadi tour
guide! Kemudian kalau seperti ini, hiburan apa yang saya berikan ke diri saya? Selain
bersyukur dan selalu mencari sisi positifnya. Saya melawan. Sudah baik saya
melakukan proses pengenalan diri saya. Berlari dalam kesendirian adalah
katarsis. Berlari dalam kesendirian adalah untuk menghargai setiap tarikan
napas yang saya ambil, untuk menghargai tubuh saya, untuk menghargai
lingkungan, untuk bersyukur kepada Tuhan.
Tetapi, saya tetap berpikir. Harus berapa
kali lagi saya berada di jurang keterpurukan ini? Saya adalah diri
anti-prestasi. Berapa kali lagi saya harus mengecewakan diri saya? Berapa banyak
lagi orang yang saya kecewakan? Berapa banyak lagi kerugian yang harus saya
bayarkan? Apakah nanti akan setimpal dengan upah yang dibayarkan ketika kelak
saya bekerja? Itupun belum tau saya kerja menjadi apa dan bagian apa. Sungguh persoalan
hidup itu sangat menyakitkan. Sungguh dunia itu adalah ladang pesakitan. Apakah
kemudian diri saya berguna bagi kehidupan bermasyarakat, bagi orang-orang
terdekat, atau bahkan bagi diri saya sendiri? Mau sampai berapa lama lagi?
Lalu, yang saya takutkan adalah
saya menjadi takut untuk berbuat sesuatu, padahal itu adalah sesuatu yang berbahaya
dan pantang dilakukan untuk mencapai kesuksesan. Dana saya masih memikirkan
hal-hal itu.
.
.
.
Ch 01-10-17
Comments
Post a Comment