Selepas
berlari sore di gor Jati, aku berharap bisa pulang cepat menuju kosan dan mandi
kemudian istirahat. Tetapi, di jalan pulang, aku melihat sore yang akan menjadi
begitu indah. Kukeluarkan motor dari parkiran dan melihat langit yang berwarna
biru muda. Biru yang bersemangat dan membawa kesan rindu; Biru yang berwibawa
dan membuat haru; Biru yang selalu ada setiap pergantian sore ke malam. Aku pergi
ke atas tanjakan Cinta. Di sana, aku termenung dan melihat goresan warna yang
Tuhan ciptakan di langit sore, berbentur dengan siluet lebar deretan gunung di
arah selatan, entah mungkin itu daerah Garut dan sekitarnya.
Aku
duduk, di sebuah beton yang sepertinya itu adalah jembatan kecil untuk air
lewat apabila hujan besar terjadi. Aku duduk dan memandang langit cukup lama,
sekiranya ada 12menit. Pikiranku mulai membayangkan suatu hal tentang diriku. Aku
melayang ke angkasa, melihat desa-desa kecil di bawah sana, melihat
gunung-gunung yang tersinari matahari senja, begitu kata para penyanyi indie
biasa sebut. Tapi aku janji tidak akan sebut-sebut senja lagi, bagi orang yang
yang hanya bacot saja dan berusaha menikmati, tidaklah mengerti bahwa arti
senja begitu dalam. Ah berak.
Kemudian,
aku sudahi saja duduk di sana. Aku kembali membawa motorku pergi, menuruni
tanjakan, dan menuju Gerlam. Ah, sebelum kembali ke kosan aku mau coba melihat
sore dari segi yang berbeda, pikirku. Aku berbelok dan menuju gerbang BNI. Gerbang
tersebut sudah tidak digunakan sejak mungkin 4 tahun terakhir, aku lupa. Hanya sedikit
orang-orang yang seliweran di jalan tersebut kecuali untuk berhenti dan berfoto
di depan danau, pergi ke bank BNI, atau tersesat dan salah jalan. Tapi,
tujuanku adalah untuk memburu matahari yang berusaha pergi dari sini.
Cukup
mungkin untuk sore ini. Aku berencana langsung pulang. Tapi lihat di sana, di
arah barat, tempat matahari mendarat. Warna-warna yang ditawarkan-Nya begitu
indah. Apakah mungkin aku menghabiskan sore ini hanya dengan mandi dan
menyesali diri, mungkin bisa ditambah garuk-garuk kaki karena gatal digigit
nyamuk. Di pertigaan depan Bungamas aku bingung. 20 detik kemudian aku
memutuskan sesuatu, aku ingat kata-kata Mark Twain yang kutempel di kamarku. “Dua
puluh tahun dari sekarang, kamu akan menyesal karena hal-hal yang tidak kamu
lakukan, bukan karena hal-hal yang kamu lakukan” Tentu “hal-hal” yang dimaksud
Twain bukanlah hal-hal yang menyebabkan dosa dan maksiat. Jadi, apa salahnya
kalau aku menikmati sore ini, bersama diriku sendiri.
Aku
membawa diriku pergi dari pertigaan dan menuju Bukit Panorama. Bukit tersebut
sempat tenar dan ramai dikunjungi saat tahun 2015. Dan menurutku, tempat
tersebut sangatlah baik untuk menikmati pemandangan desa Jatinangor dan
matahari yang tenggelam. Namun, entah mengapa sekarang sedikit orang yang tahu
dan ada portal dan anjing yang menghalangi untuk bisa ke atas bukitnya. Bukit tersebut
berada di depan bukit Jarian dan gunung Geulis. Konon, di gunung tersebut ada
sepasang kakek nenek yang saling mencintai dan dikuburkan di atas sana, dan
tumbuhlah dua pohon besar dan kokoh yang dapat dilihat dari bawah, di antara
pohon tersebut ada kuburan jenazah kakek dan nenek tersebut.
Selanjutnya,
apa yang aku lihat adalah sebuah hal yang sangat memanjakan mata. Di arah kota Sumedang,
aku melihat sebuah pelangi yang besar, jelas, dan nyata! Meskipun warnanya
hanya merah, kuning, dan hijau, tapi itu membuatku gembira sekali. Entahlah. Sepanjang
jalan aku tersenyum dan tertawa kecil. Mungkin itu efek dari warna pelangi yang
juga warna Reggae. Viva la Rastaman.
Kupikir
pelangi itu bersumber dari waduk Jatiluhur, tapi tidak tahu juga, mungkin juga
itu dari tangisan orang-orang miskin. Kulihat banyak orang berhenti dan
mengambil gambar dari keindahan pelangi tersebut. Kemacetan juga menjadi
kesempatan untuk mereka yang berada di selain kendaraan bermotor untuk
menikmatinya. Kulihat juga anak-anak kecil menatap pelangi yang tegak dan
sedikit bengkok tersebut. Kulihat pengendara Bonceng Tiga yang diboncengnya mengambil hape dari saku dan memfoto
pelangi tersebut. Semua tampak bergembira dan menikmati sore. Mungkin Jakarta
harus mencontoh Jatinangor dalam menikmati penutup hari. Janganlah kalian
marah-marah melulu, bajingan!
Di
belakangku tidak sabar matahari untuk pergi. Kukebut motorku dan sampailah aku
di bukit Panorama. Aku memarkir motor, dan disambut oleh gonggong anjing yang
mengetahui bahwa aku adalah orang asing yang datang ke tempatnya. Aku menyapa
anjing tersebut dan berkata “sebentar, mau ke atas sebentar, punten.” Aku tidak
sabar menuju bukit itu. Sambil tersenyum dan penuh semangat aku berjalan ke
sana. Ayolah orang-orang yang berada di dalam rumah. Ini saatnya kalian keluar
dan menikmati sore ini. Berbahagialah kalian atas ciptaan Tuhan. Dan, sayangilah
orang-orang di sekitar kalian.
Di
atas bukit aku kembali tertawa kecil dan terus tersenyum. Aku menikmati
karya-Nya. Oh Tuhan, terima kasih. Engkau telah memberikan pemandangan yang
sangat indah. Di penghujung hariku di Jatinangor ini, Kau mempersembahkanku sebuah
gambar dari pelukis yang Maha Agung. Aku sangat-sangat-sangat-sangat-sangat-sangat
menikmatinya.
Kini,
warna kuning bercampur oranye dan segaris biru adalah warna dominan di langit
arah barat. Ditambahkan sedikit warna putih dan abu-abu berupa awan-awan yang
mengambang di atas daratan. Semua komposisi warna tersebut adalah sajian
terbaik dalam lukisan-Nya. Aku hanya terbengong-bengong. Aku memutar diriku,
melihat ke arah kananku. Sebuah gunung bernama Manglayang berdiri kokoh dan
tersinari matahari. Gunung tersebut adalah salah satu tempat bermain dan mencuci
otakku agar segera segar kembali. Ke arah kanan lagi, aku melihat pelangi yang
dari tadi masih berada di tempatnya. Warna-warnanya masih sama, dia tidak
bergeming. Ke arah kanan lagi, aku melihat bukit Jarian dan gunung Geulis,
jelas sekali. Jarak aku dan mereka berdua begitu dekat, seolah bila aku lompat
aku akan sampai ke diri mereka. Ke arah kanan lagi, aku melihat sebuah deretan
gunung, mereka adalah gunung yang sama ketika aku lihat dari atas Tanjakan Cinta.
Mereka berwarna kehitaman, tetapi di atasnya adalah biru muda. Dan di sana,
pasti masih terang. Ke arah kanan lagi, aku kembali melihat kepergian matahari.
Di atasnya adalah warna-warna lembayung. Sungguh warna-warna yang indah dan
sangat memanjakan mata.
Kamu
tahu? Bahwa ketika matahari pergi dari sini, meninggalkan kita, di sana dia
baru saja datang menemui mereka. Mengetuk pintu masing-masing rumah dan
menyuruh mereka bangun dan segera menjalani hari. Tapi, bagi orang-orang yang
menanti kedatangannya itu merupakan sebuah keberkahan, dan mereka adalah
orang-orang yang bersuka cita. Matahari di manapun tetaplah indah. Dan dialah
kehidupan, tentu atas perintah-Nya.
Warna
matahari sisa perlahan-lahan meninggalkan desa ini, Jatinangor. Hari akan
gelap. Malam akan datang. Dia membawa segala kenangan tentang desa ini. Segala kebahagiaan
dan kesedihan, segala suka dan duka, segala manis dan pahit, segala impian dan harapan,
segala bentuk kasih sayang, segalanya akan hilang.
Tidak terasa
telah hampir 5 tahun aku berada di sini. Sebuah daerah yang tidak kuketahui
sebelumnya dan tidak kuharapkan, tetapi telah ditakdirkan. Aku datang ke sini
untuk belajar dan merasakan pengalaman baru. Untuk merasakan kenikmatan hidup
sendiri menjadi mandiri. Untuk dapat menemukan harapan baru. Untuk menjalani
fase kehidupan. Untuk ambil bagian kepada desa ini dan kepada diri ini. Untunglah
aku tidak pindah ke lain tempat. Jatinangor, (yahhh walaupun nama Jatinangor
menyebalkan dan agak norak) telah menjadi hadiah manis bagi banyak orang. Dan sialnya,
desa ini akan sulit dilupakan bagi siapapun mereka.
Sekarang
banyak sekali pikiran-pikiran dan khayalan-khayalan dalam kepalaku. Aku tetap
tersenyum dan bahagia sore ini, aku kembali berputar-putar dan menikmatinya. Sore
ini begitu indah, aku ucapkan tak terkira. Namun, semua ini akan berubah, warna
indah akan lenyap, lalu datang gelap. Di belakangku nampak lebih muram dan
hitam. Akan hadir malam. Dialah yang mengganti siang, sore adalah masa
transisi. Kurasa, malam ini bintang-bintang akan sedikit keluar. Yaa, begitulah
kehidupan, setiap kebahagian harus dibayar dengan kesedihan, dan setiap
kesedihan harus membayar untuk kebahagiaan.
Di
depanku sekarang rumah-rumah dan jalanan mulai berwarna titik-titik putih. Malam
akan tiba, mereka bersiap ada. Lampu membantu mereka untuk melihat, mungkin
kurang percaya dengan cahaya ilahi. Tak apa, asal tetap bersyukur. Pengalaman sore
ini harus dialami setiap manusia yang intoleran, egois, serakah, pembenci,
jahat, dan munafik. Sore ini begitu indah, sehingga setiap keburukan di muka bumi
ini harus berhenti dan mengilang. Sore ini haruslah membawa kebahagiaan bagi
setiap manusia, membuat mereka memiliki sifat saling menghargai satu sama lain
dan menghargai Tuhannya, membuat mereka memiliki sifat saling menyayangi satu
sama lain dan menyayangi Tuhannya, dan membuat mereka memiliki sifat saling mengasihi
satu sama lain dan mengasihi Tuhannya.
Melalui
mata ini, aku mulai bersyukur. Aku tahu aku tidaklah besar, aku membandingkan
diriku dengan sekitar. Matahari, gunung, langit, angin, dan sebagainya. Aku hanyalah
mungkin se-upil amoeba. Tidak mungkin kita masih bisa melihatnya. Punya apa aku
untuk bisa bersombong? Padahal diriku hanyalah sesuatu yang kosong. Oh Tuhan,
sungguh bersyukur ialah juga kenikmatan. Aku menikmati rasa syukurku ini. Terima
kasih telah menciptakan sore yang indah ini. Sore yang harusnya membuat banyak
orang bersyukur dan tidak sombong.
Setelah
puas memandang langit sesorean dan sendirian, aku kembali pulang. Aku akan
meninggalkan segala bentuk keindahan. Aku akan pergi menghilang. Dari sini. Dari
Jatinangor. Desa kecil yang sedikit bangor. Aku menuruni bukit, menuju motorku.
Dan membawa diriku pulang. Kembali. Ke kosan. Menghadapi tantangan dan realitas
kehidupan. Selalu.
CH 16-02-2018
Comments
Post a Comment