Akhir-akhir ini ketika melihat
tetangga depan rumah, rasanya selalu ingin membandingkan. Perihal materil dan
moril. Perlu diketahui, tetangga saya itu bapaknya kerja di kapal pesiar juga,
jadi Koki, ibunya ibu rumah tangga. Sedangkan di saya, bapaknya kerja di kapal
pesiar perusahaan top 10 dunia, di bagian mesin, sudah 20 tahun bekerja, ibunya
jadi guru sudah 30-an tahun bekerja.
Sekarang ini, setiap melihat ke
depan rumah, rasanya saya iri. Kenapa bisa dia lebih sejahtera dan bahagia di
dalam rumahnya? 3 rumah di samping kanan dan belakangnya adalah miliknya. Belum
lagi tanah-tanah di tempat lain. Sedangkan di sini, punya rumah yang dekat
dengan pasar saja sudah habis dijual tanpa sepengetahuan ibunya, parahnya
ketika sang ibu sedang sakit. Yaa aji mumpung. Mempermudah birokrasi perizinan.
Bisa dibilang, tetangga saya itu
pintar dalam memanajemen uang dan ego. Serius. Manajemen ego itu bagi sebagian
orang terasa lebih sulit. Karena ego yang memuncak, pikiran sudah tak dapat
diatur, hati sudah tak dapat dirasa. Si bapak tetangga saya itu pernah bilang
ke saya, “sudah tua begini mah ngapain
mikir pusing-pusing, bisnis segala macem, mending uangnya dipakai buat
ketenangan dan kesenangan saja. Makanya saya beli burung-burung ini.” Memang bapak
ini suka sekali pelihara burung, dan saya sangat yakin harga burung-burung
tersebut fantastis. Dia juga punya vespa yang sangat terawat, bersih, mesin
masih terdengar bagus, dan awet.
Beda sifat, beda perlakuan, beda
latar belakang, beda jalan.
Lantas apa yang menjadi
permasalahannya? Saya rasa, adalah egoisme diri. Di sana (mungkin), si bapak
dan si ibu tidak terlalu egois, mau mendengarkan omongan anak, berpikiran luas.
Sedangkan di sini, terbalik, si bapak dan si ibu teralu egois, menurutnya orang
tua adalah yang paling benar dan bahkan setara dengan Tuhan, tertutup. Kemudian,
apa dampak yang akan terjadi bila itu terus dibiarkan dan dilakukan. Sepengalaman
saya, keluarga menjadi tidak harmonis, ibarat sebuah kaca, tetap ada tetapi
sudah retak-retak bahkan pecah. Lalu, anak menjadi malas mendengarkan perkataan
orang tua dan malas berbicara (memberi saran, curhat, bertanya) kepada mereka. Tumbuh
kembang keluarga tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Ada yang terhambat
dalam proses mencintai.
Yang sekarang terjadi adalah
akibat keegoisan orang tua, semua kuasa dan harta hilang tak tersisa. Dulu yang
memiliki tanah di mana-mana, sekarang sudah habis dijual demi ambisi si bapak
yang tak berkesudahan. Belum lagi ditambah lilitan hutang akibat ulah kebodohan
dan keras kepala si bapak. Kalau sudah begini, apa yang diminta orang tua
kepada anaknya agar mendoakan orang tuanya ketika mereka sudah meninggal apakah
akan dilakukan? Setelah apa yang ditanam/dipetik kepada/dari anak? Kenapa muluk-muluk
meminta doa anak? Takutkah mereka kepada neraka? Tidak percayakah bahwa
amalannya di dunia akan menyelamatkannya? Kalaupun sudah didoakan, apakah doa
si anak akan didengar dan dikabulkan oleh Tuhan? Setau saya, adalah anak yang
soleh dan soleha yang dapat mendoakan orang tua agar mereka terus mendapat
amalan jariyah ketika mati. Pertanyaan saya, apakah anak-anaknya sudah soleh
dan soleha? Apakah orang tua sudah mendidik anak-anaknya menjadi anak yang
diinginkan (soleh dan soleha)? Apakah hanya dengan omongan dan tamparan, bisa
otomatis membuat anak menjadi soleh dan soleha? Apakah tidak diperlukan bonding
keluarga? Keterbukaan antara anak dan orang tua? Mengurangi keegoisan orang
tua?
Huf
Letih rasanya. Saya tahu perasaan
teman-teman yang menginginkan mempunyai orang tua, tapi ada juga beberapa anak
yang malah tidak ingin mempunyainya. Lebih tepatnya, menolak orang tua yang memiliki
sifat-sifat yang tidak diinginkan dan tidak baik bagi ekosistem keluarga. Setiap
orang punya masalahnya masing-masing. Bukan berarti memiliki orang tua yang
tidak bercerai pasti tidak broken home.
Orang tua yang masih satu atap pun akan terasa seperti sudah hancur apabila
tidak harmonis dan tidak nyaman dalam keluarga.
Tidak adil rasanya bila sedari
kecil kita dicekoki oleh kata-kata “tidak boleh durhaka sama orang tua”, “harus
nurut sama orang tua”, “perintah orang tua adalah perintah Tuhan”, tetapi malah
orang tua itu sendiri yang durhaka kepada anak-anaknya, semena-mena dalam
perbuatan dan perlakuan, bertindak semaunya tanpa memikirkan masa depan anak.
Kalau sudah seperti ini, saya
ingin menjadi burung yang dipelihara tetangga saya saja. Diperhatikan dan
diprioritaskan.
Ya sudahlah. Inilah kehidupan
kata diri saya. Ujian sesungguhnya adalah dari diri sendiri. Tujuan hidup kita
bukan untuk berlomba-lomba siapa paling kaya atau siapa paling kuasa. Yang terbaik
adalah bisa memaknai hidup dan berguna bagi manusia. Kalau makin lama saya
menulis, nanti makin banyak mengeluh. Syukuri. SYUKUR LU DI SANA!!!
Comments
Post a Comment