Setiap kali saya melewati
jalan-jalan di Jakarta dengan menggunakan kendaraan bermotor baik mobil atau
sepeda motor di tiap-tiap persimpangan atau bahkan jalanan lurus sekalipun selalu saja
ada yang memijit tombol klakson. Berbeda sekali dengan kota lain semisal Bali,
Jogja, atau Bandung. Ya, meskipun di sana juga ada bunyi-bunyi gemas klakson,
tapi tidak separah di Jakarta, kota padat, kota macet, kota intoleran, kota
teraktif di Twitter. Jakarta yang penduduknya pada siang hari 10juta orang dan
pada malam hari 5juta orang.
Saya paling menghindari
berpergian pada saat rush hour, misal
saat jam-jam berangkat/pulang kerja. Apalagi sore hari menuju buka puasa saat
bulan Ramadhan, yaampun itu orang udah kayak laler. Keluar semua dari rumah
kayak hari Jumat rumah kena fogging. Di
mana-mana. Semua orang. Berhamburan. Ramai sekali dan tidak beraturan.
Tapi lebih dari itu yang paling
meyebalkan adalah bunyi klakson. Klakson seharusnya adalah isyarat peringatan,
fitur keselamatan, alat pengingat. Bukan untuk pelampiasan amarah dan
interpretasi teriakan dalam hati pengendara. Penggunaan klakson hanya
diperlukan untuk keselamatan lalu lintas, bukan untuk mengintimidasi, bukan
untuk cari sensasi.
Tapi, nyatanya di jalan-jalan
Jakarta, banyak terjadi klakson sebagai “nada dering” jalanan. Ada yang mau
tegur sapa pakai pencet klakson, baru lihat perubahan lampu ijo 0,5 detik pencet
klakson, ga sabar pencet klakson, ada orang pencet klakson ikut pencet klakson,
latah. Seperti kebanyakan orang-orang sini. Ikut-ikutan.
Apasih gunanya suka pencet-pencet
klakson? Gamau coba pencet-pencet yang lain? Yang lebih bermanfaat dan
menyenangkan hati? Pencet-pencet yang bisa bikin jantung dag-dig-dug? Kenapa harus
klakson? Sadarkah mereka kalau klakson tuh bikin berisik, bikin stres, bikin
muak? Sadarkah itu tidak baik untuk kesehatan? Begitukah sifat-sifat teladan
manusia metropolitan?
Di jalan, seperti arena
pertandingan tinju, motor satu dengan motor lainnya saling teriak. Klakson mungkin
seperti suara penyemangat. Berjalan beriringan, saling bantu untuk membully orang yang melakukan kesalahan di
jalan. Sering kan anda sekalian melihat kerusuhan di jalan? Saling tampil
arogansi? Yang lebih kuat teriak lebih kencang, atau yang tidak memiliki otak
yang selalu menantang?
Saya sempat berpikir,
jangan-jangan orang yang sering membunyikan klakson adalah orang yang sedang
tertekan, butuh pelampiasan. Maka ia keluarkan bunyi-bunyi yang memabukkan. Sang
pengendara tidak mampu berteriak, tidak mampu mengeluarkan amarah yang
tertahan, maka mereka selalu pencet itu klakson agar menjadi ketenangan,
tentunya bagi mereka yang memencetnya. Atau mungkin, suara-suara klakson itu
adalah suara pembenaran bagi sang pemencet? Mereka merasa yakin bahwa apa yang
dipencet adalah semacam “EH PENDOSA! MINGGIR KAU!”
Ah, mana tahu... Mungkin jangan-jangan
yang salah memilih tempat bertarung adalah saya? Jalanan Jakarta memang lebih
cocok untuk orang-orang temperamen yang klaksonnya sangat bacot. Bagi saya yang
mencintai ketenangan dan kedamaian, kota ini tidak ubahnya seperti tempat ujian
kesabaran dan toleransi terhadap orang-orang yang berisik.
Comments
Post a Comment