Dua hari yang lalu, Res
membayangkan bagaimana bila dia meninggal dunia, meninggalkan teman-temannya
sekaligus keluarganya. Res membayangkan bagaimana orang-orang bersikap pada
jasadnya. Res membayangkan bagaimana suasana hati keluarganya, kekasihnya,
teman-temannya. Bayangan itu sering melintas di kepalanya, terkadang malah
hinggap semalam suntuk. Tidak ada alasan khusus baginya untuk membayangkan itu
semua, hanya sekadar berangan-angan, melihat suatu kejadian yang dia sendiri
tidak mampu melihatnya, ya tentu saja itu disebabkan karena dia sudah meninggal
dunia.
Tidak seperti biasanya, sepulang
dari rumah Tia, Res tidak memberi kabar sama sekali, padahal dia sudah janji
untuk selalu mengabarinya. Bahkan perpisahan yang terakhir itu biasa sekali, tanpa
kesedihan, tanpa pelukan, hanya lambaian tangan dan kata-kata perpisahan, tidak
ada imbuhan sayang, tidak ada kekhawatiran yang mendalam.
Pukul dua, Tia mulai gelisah, kabar tak diterima, pesan tak dijawab, berapa kali dicoba sama saja. Namun, sekilas kemudian, malam meledak oleh sebab perkataan seorang di seberang telpon. Dia mengabarkan bahwa kekasihnya telah meninggal dunia. Pertolongan coba diberikan tetapi Res harus kalah oleh malaikat maut.
Tia seperti berada di tengah antartika, dingin, sepi, dan menusuk. Otaknya tak mampu mengendalikan lagi kemampuan tubuhnya, air dari matanya otomatis keluar. Tia duduk lalu menangis. Dia merasa bahwa malam itu sudah berakhir. Sungguh tidak dikira bahwa Res akan meninggal begitu cepatnya dan dengan cara seperti itu.
Pukul dua tiga puluh, telepon kembali berdering, nama Res muncul di layar, diangkatnya panggilan itu oleh Tia, suara Res terdengar di seberang sana, “Hallo Tia”
“Res?”
“Yaelah serius amat lu sampe nangis gitu. Boong, w gajadi mati. Kapan-kapan aja.”
-Bersambung karena otak w lagi
gabisa mikir. Kurang jogging-
bye
Comments
Post a Comment